Asal Mula Gambuh
Suatu kenyataan yang ada
mengenai dramatari Gambuh pada saat ini yakni semakin berkurangnya sekaa-sekaa
Gambuh di Bali. Berdasarkan data-data yang ada bahwa pada puluhan tahun yang
lalu di Bali pernah ada Gambuh di daerah-daerah seperti : Jungsri, Budakeling
dan Padang Aji di Kabupaten Karangasem, Batuan, Sipangadu (Gianyar), Pedungan,
Sesetan, Tumbak Bayuh, Buduk (Badung), Anturan, Depeha (Buleleng), Apit Yeh –
Baturiti (Tabanan) dan lain sebagainya.
![]() |
Tari Gambuh (gbr diambil dari dedungart.blogspot.com ) |
Tentang Gambuh ini hingga kini
masih banyak dipermasalahkan orang, terutama sekali tentang asal mulanya, kapan
sesungguhnya Gambuh ini timbul di Bali. Mengingat sedikitnya data-data yang ada
menyangkut masalah Pagambuhan ini memang masih sulit untuk mendapatkan
kejelasan yang tuntas tentang asal mula Gambuh ini. Adapun data-data yang
selama ini berhasil dikumpulkan yang di dalamnya ada menyangkut masalah Gambuh
yakni Lontar Candra Sengkala (Pasasengkalan), Babad Dalem (Babad Samprangan)
dan Cerita Panji yang di Bali dikenal dengan cerita Malat.
Istilah Gambuh pertama-tama
dijumpai dalam lontar Candra Sengkala yang di dalamnya ada menyebutkan :
“Sri Udayana suka angetoni wang
Jawaa mengigal, sira anunggalaken sasolahan Jawa mwang Bali, angabungaken
ngaran Gambuh, kala iḉaka lawangngapit lawang”.
Kalimat
berbahasa Kawi diatas berarti :
Sri Udayana suka melihat
orang-orang Jawa menari yang mempersatukan tari Jawa dengan tari Bali,
menggabungkan yang kemudian disebuh Gambuh, pada tahun ḉaka 929 atau tahun 1007 Masehi.
Dari uraian dia atas dapat kita
petik beberapa pokok masalah mengenai Gambuh di Bali yakni :
1.
Timbulnya “Gambuh” di Bali adalah tahun 1007
Masehi.
2.
Gambuh yang muncul itu adalah gabungan antara tari Jawa dengan tari
Bali.
Sumber
lain yang juga ada mengungkapkan masalah Gambuh ini yakni Babad Dalem (Babad
Samprangan) yang didalamnya ada kalimat yang berbunyi : “Puput kedaton ring
Samprangan, kedatwanira Dalem Wawu Rawuh, wangun Gambuh paara aryeng Majapahit
ring Bali, sunia buta segara bumi”.
Kalimat
tersebut artinya : setelah selesainya kraton di Samprangan yang merupakan
kraton dari Dalem Wawu Rawuh, disusun (dibentuk) sebuah Gambuh oleh para
arya-arya dari Majapahit yang ada di Bali pada tahun ḉaka 1350 atau tahun 1428 Masehi.
Kalau kita melihat pada cerita
baku dari dramatari Gambuh yaitu cerita Panji, tokoh-tokoh yang ditampilkan dan
Gambuh juga memakai nama-nama tokoh dari cerita Panji seperti : Rangkesari,
Panji, Prabangsa, Kadean-Kadean, Demang Tumenggung, Gunung Sari dan lain
sebagainya. Cerita Panji menurut Prof.Dr.R.M.Ng. Poerbacaraka diperkirakan berasal dari sekitar lambing
kejayaan atau sesudah kejayaan kerajaan Majapahit, sedangkan penyebarannya ke
seluruh Nusantara baru terjadi jauh kemudian.
Struktur Pertunjukan Gambuh
Berbicara tentang Pegambuhan
kita tidak cukup hanya membicarakan tentang asal mulanya saja, akan tetapi dari
segi-segi lainnya, seperti : pepeson, gambelan pengiring, pelaku, busana,
dialog dan lain-lainnya juga perlu diungkapkan oleh karena hal-hal tersebut di
atas sangat penting artinya di dalam Pegambuhan.
1. Pelaku
Sebagai dramatari yang tertua di Bali,
Gambuh masih mempergunakan nama tokoh dari kaum bangsawan dari kerajaan Jawa
Timur pada abad ke XII – XIV seperti : Demang Tumenggung, Patih Rangga Toh
Jiwa, Arya Kebo Tan Mundur, Arya Kebo Angun-Angun, Ken Bayan, Ken Sangit,
Pangunengan, Pasiran, Panji Kuda Narawangsa, Maisa Prabangsa dan lain
sebagainya. Pada mulanya dramatari Gambuh di Bali dibawakan oleh para penari
yang terdiri dari kaum laki-laki namun dalam perkembangannya kemudian bahkan
hingga sekarang bagian-bagian tertentu diperankan oleh pelaku wanita.
2. Papeson
Sebagaimana
biasanya yang terdapat dalam suatu pementasaan Gambuh, bahwa papeson
keseluruhan peran-peran yang ditampilkan adalah sebagai dibawah ini :
-
Condong yg diiringi dengan tabuh Subandar.
-
Kakan-kakan yang diiringi dengan tabuh
Sumambang.
-
Arya-arya dengan tabuh pengiringnya Sekar Gadung
atau yang lainnya.
-
Demang Tumenggung yang diiringi dengan tabuh
Bapang Gede.
-
Patih Manis (Rangga) diiringi dengan tabuh Godeg
Miring, Tunjur.
-
Panji dengan iringan tabuh Lengker, Sumeradas,
Bapang selisir atau yang lain.
-
Panasar dengan iringan tabuh Bapang.
-
Prabu keras dengan iringan tabuh Godeg Miring,
Biakalang atau tabuh lainnya.
Papeson diatas seringkali berubah tergantung dari jalannya cerita
yang hendak dilakonkan.
3. Gambelan
Gambelan Pegambuhan
yang lengkap terdiri dari instrument-instrumen seperti :
-
Rebab (satu atau dua buah).
-
Suling Pagambuhan (suling besar) dua atau tiga
buah.
-
Sepasang kendang (kendang kakrumpungan).
-
Sebuah kajar.
-
Sebuah Klenang.
-
Setungguh ricik (cengceng kecil).
-
Kenyir (satu tungguh).
-
Gentorag (satu pancer).
-
Gumanak
-
Kangsi.
Diantara instrument-instrumen diatas, gumanak dan Kangsi kini
sudah semakin jarang dipergunakan.
4. Perkembangan Gerak
Dari
jenis-jenis gerak tari yang biasa dipergunakan dalam tari Gambuh, terdiri dari
:
-
Mungkah Lawang : gerakan seperti membuka langse
yang biasanya dipakai untuk memulai suatu tarian condong.
-
Ngeseh : gerakan sendi untuk menghubungkan agem
kanan ke agem kiri.
-
Ngalih pajeng : gerakan pencari pajeng (paying)
yang merupakan salah satu property dari tempat pementasan (kalangan).
-
Nayog : berjalan dengan ayunan tangan agak datar
ke samping.
-
Nyambir : mengambil ujung (sisi) kampuh kanan
dengan tangan kiri dan kanan kemudian diangkat bersama-sama setinggi dada (di
muka dada).
-
Butangawasari : posisi berdiri dengan mengangkat
sebelah kaki (nengkleng) dengan tangan kanan ditekuk diatas kepala, sedangkan
tangan kiri ditekuk ke samping.
-
Gelatik nuut papah : meloncat kecil seperti
burung gelatik baik ke kanan maupun ke kiri, sementara ditekuk datar ke samping kanan maupun kiri.
-
Nepuk : mengambil (menyentuh) kampuh pada
pertengahan dada, baik oleh tangan kanan maupun tangan kiri.
-
Ngelangsut.
-
Ngerajeg : gerakan mencari rajeg yang biasanya
berfungsi sebagai dekorasi di sudut-sudut arena tari.
-
Nyeleyog : gerak perpindahan yang disertai
dengan perputaran bahu dadn
kemudian dilakukan bersama-sama dengan
memindahkan arah hadap.
-
Anadab gelung : gerakan tangan untuk menyentuh
bagian samping dari gelungan.
-
Anadab karna : gerakan tangan untuk
menyentuh telinga bagian atasnya.
-
Anadah oncer : gerakan mengambil oncer.
-
Tayungan ngotes (kotes) : ayunan tangan tepat ke
muka dan ke belakang.
-
Nakep dada : menutup dada dengan posisi tangan
menyilang.
-
Milpil : berjalan cepat.
-
Malpal : berjalan cepat dengan langkah agak
lebar dan berat.
-
Ngulah : sejenis ngangsel namun dilakukan dengan
melangkah ke depan.
-
Ngeger : semacam ngangsel namun dilakukan dalam
batas lagu yang lebih panjang. Ngeger ini juga disebut (ngopak lantang).
-
Kirig udang : gerakan semacam ngangsel yang
dilakukan dengan menarik salahsatu kaki dengan tolehan stakato ke bawah.
5. Lakon
Sebagai lakon utama Gambuh lebih banyak
melakonkan cerita-cerita dari cerita Panji. Beberapa cerita lain yang juga
dapat dijadikan lakon Gambuh dan sudah biasa dilakonkan yakni :
-
Cerita Ranggalawe
-
Cerita DamarWulan
-
Cerita Amad Muhamad
6. Busana
Secara umum bahwa semua peran-peran yang
ditampilkan dalam Pagambuhan tata busananya terdiri dari busana “Kakampuhan”
untuk peran putra dan busana putrid dengan segala variasi untuk peran-peran
putrid (wanita)
-
Jaler : celana panjang berwarna putih ataupun
loreng-loreng.
-
Stewel : hiasan untuk membalut jaler dari bawah lutut sampai ke pergelangan
kaki.
-
Kain putih kekancutan : kain yang dipakai secara
melilitkannya di badan setinggi dada (dipasang sebelum saput).
-
Saput : semacam sarung yang dipegang pada satu
sisinya, digambari dengan bermacam-macam ornament dari motif prada, atau dibuat
dari kain loreng.
-
Angkeb bullet (angkeb kancut) : hiasan kecil
yang juga diprada, dipasang sesudah saput untuk menutup bagian punggung atau
menutup ikatan kain putih kalau ujungnya dicawatkan di punggung.
-
Bapang : hiasan pada leher (neckband).
-
Baju.
-
Gelangkana : hiasan kecil untuk menutup ujung
baju pada pergelangan tangan.
-
Awiran : hiasan kecil bermotifkan prada yang
dipasang diatas (menutupi) angkeb atau digantungkan di bawah keris.
-
Angkep pala : hiasan semacam angkeb kancut namun
lebih kecil yang dipasang untuk menutupi pundak baik kiri maupun kanan.
-
Sabuk : terdiri dari sabuk kancing yang dipasang
di pinggang dan sabuk stagen untuk mengikat kain putih maupun saput.
Untuk busana putrid terdiri dari :
-
Kain : jenisnya ada yang memakai lancingan
(kancut) ada juga yang tanpa kancut.
-
Sabuk : sabuk stagen dan sabuk prada (semacam
sabuk stagen yang dihiasi dengan motif-motif prada).
-
Lamak : hiasan penutup badan bagian depan yang
dipasang bergantungan dari atas susu hingga diatas lutut.
-
Baju.
-
Gelangkana : hiasan penutup ujung baju pada
pergelangan tangan dan ada juga yang dipasang di lengan atas (hanya untuk peran
putri raja).
-
Ampok-ampok : hiasan dari kulit yang dipasang di
pinggang.
-
Bapang : hiasan pada leher yang dipasang
membidang melingkari pundak dan dada.
Disamping busana diatas, baik peran putra maupun putrid masing-masing
mengenakan hiasan kepala yang berupa udeng-udengan (destar) untuk para
punakawan dan hiasan kepala berupa gelungan untuk peran-peran lainnya.
Jenis-jenis gelungan yang dipergunakan dalam Pagambuhan dan
Patih – Rangga :
-
Gelungan Jajempongan dikenakan oleh
Kadean-kadean.
-
Gelungan Papudakan : dikenakan oleh Putri dan
Kakan-kakan. Untuk Kakan-kakan bentuk papudakannya lebih kecil.
-
Gelungan Papusungan : dikenakan oleh condong.
-
Gelungan lengar dan Sobrat masing-masing
dikenakan oleh Demang dan Tumenggung.
7. Dialog
Dialog Pagambuhan memakai bahasa Kawi (Jawa Kuno)
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Bali halus maupun bahasa Bali
lumrah (kasar). Dialog ini bisa berupa pocapan biasa, tandak, dan palawakia
sesuai dengan corak dialog Gambuh.
8. Tata rias :
Tata rias dalam Pagambuhan dapat dikatakan tat
arias biasa sebagaimana yang terdapat dalam dramatari Bali lainnya. Rias putri
hanya memperjelas bentuk-bentuk alis, lekuk mata dan lipstick serta bedak. Di pelipis
kiri kanan dan di sela-sela alis dibuat titik-titik putih yang disebut
cundangan. Rias peran putra terutama putra manis tidak jauh berbeda. Bagi peran
putra keras dan panakawan biasanya
merias mukanya dengan memperbesar dan mempertebal alis, kumis dan kadang kala
kalesnya. Hanya peran Demang Tumenggung yang menambahkan hiasan mukanya dengan
beberapa garis putih dan titik-titik putih sehingga menimbulkan kesan “aeng”
(menyeramkan) dan lucu.
Dengan tidak
menghendaki luas arena tari yang tertentu Gambuh bisa dipentaskan di malam hari
maupun di siang hari tergantung pelaksanaan upacara ataupun tergantung waktu
yang tersedia.
Sumber : “Mengenal
dramatari Gambuh dan tari-tarian lain
yang hampir punah di beberapa daerah di Bali” , penyusun : I Wayan Dibia, SSt.
Tahun : 1979